Dari Manba’ul ‘Ulum ke Bumi Turki

“Berawal dari setitik mimpi dengan berjuta harapan ku awali perjalanan kisahku”

Mengulik sebuah cerita perkuliahan di Turki tidak akan pernah ada habisnya. Setiap mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, tentunya memiliki pandangan dan cerita masing-masing ketika mereka menjalani kuliah di Turki. Meski kuliah di tempat yang sama, namun dalam pengalaman satu sama lain pasti berbeda. Berbagi cerita dan pengalaman dengan orang lain tentunya akan membuat perjalanan panjang yang sudah di tempuh menjadi semakin bermanfaat.

Dari sebuah pedesaan kecil aku datang mengadukan nasib ku demi sebuah harapan panjang yang masih dalam angan. Kala itu, entah angin apa yang datang menghembus hingga mengubah niat ku. Ketika aku telah menyelesaikan bangku SMP aku sebenarnya telah berniat untuk masuk ke Sekolah Kejuruan dengan mengambil jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan). Namun, di kala waktu pendaftaran akan dibuka nenekku menawarkanku untuk pergi ke sebuah Pondok Pesantren di daerah Cirebon. Akhirnya aku diantar kesalah satu Pondok Pesantren di daerah Bobos dan ternyata ketika aku berkunjung kesana aku malah diajak ke Pondok lain di Sindangmekar. Entah magnet apa yang ada di dalam Pondok ini, Seolah menarik diriku untuk masuk dan ikut bergelut di dalamnya. Tahun 2009 akhirnya aku resmi menjadi salah satu pelajar di Pondok Pesantren Manba’ul ‘Ulum yang lebih dikenal dengan sebutan PPMU atau MU saja. Dan dari sinilah kisah ku bermula…

Selama tinggal di Pesantren semangat belajar aku semakin meningkat. Di tempat ini aku bertemu dengan berbagai orang yang memiliki berbagai kelebihan. Ada yang pandai di bidang agama, pertanian, guru, wirausaha dan lain sebagainya. Keberagaman ini semakin memacu semangat belajar aku sehingga setelah mendapat ranking ke-2 di kelas, aku terus berusaha untuk meningkatkan kualitasku. Pada awal tahun pelajaran di kelas 11 aku dan salah seorang sahabatku asal Karawang mengobrol membicarakan cita-cita dan harapan kami, saat itu terbesit dibenak kami untuk memulai perjalanan kami yang baru nanti setelah sah menjadi “graduation” atau lulusan Pondok MU.

Semangat belajarku lebih menggebu-gebu lagi, belum lama setelah kelulusan dan pengesahan menjadi alumni aku dan beberapa teman seangkatan ku diberikan tawaran untuk mengikuti “dauroh” ujian seleksi kuliah ke Madinah di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta. Karena ini pengalaman pertama aku melamar beasiswa ke luar negeri, aku sudah mengira bahwa prosesnya sangatlah rumit. Padahal itu masih proses pengumpulan aplikasi dokumen. Saya harus mengambil nomor peserta dari internet,  meminta surat rekomendasi, dan yang pasti mengisi “essay” menjelaskan tentang diri saya dan tujuan saya ingin belajar ke Madinah.

Setelah mengikuti proses “dauroh” ujian ke Madinah dan tinggal beberapa hari mengikuti karantina di Jakarta, kamipun kembali ke Pondok untuk mengabdikan diri kami sembari menunggu keputusan dari pihak kampus yang ada di Madinah.

Tidak memutus usahaku untuk terus mengejar mimpiku belajar ke luar negeri. Mengejar mimpiku belajar ke luar negeri. Sembari aku menunggu pengumuman yang akan diumumkan satu tahun yang akan datang setelah mengikuti dauroh, aku pun mulai “searching” di Google tentang beasiswa ke luar negeri. Aku tahu itu tidaklah mudah, namun motivasi dalam diriku lebih besar daripada rasa lelahku.

Pada pertengahan masa pengabdian di Pondok MU, persisnya pada bulan ke-5 pengabdianku kembali ada panggilan dan tawaran beasiswa. Kali ini ke negeri dimana disana merupakan satu-satunya negeri yang wilayah negaranya ada di dua bagian benua, Asia dan Eropa, yaitu Turki.

Dengan syarat mengikuti karantina, tanpa berfikir panjang aku hubungi orang tua ku untuk meminta izin, dari dulu sampai sekarang aku yakin bahwa “ridho Allah bi ridlo walidain”, sampai aku memutuskan selama orang tua ku masih disampingku, aku tidak akan shalat istikhoroh.

Alhamdulillah, orang tua ku mengizinkanku untuk mengejar impianku. Saat itu aku dan ke-2 teman dari Pondok berangkat menuju Depok untuk menemui orang Turki  untuk memastikan nasib kami. Tanpa banyak waktu orang Turki yang bernama Ustad Emkor menerima kami dan menjelaskan sedikit tentang keperluan-keperluan selama program karantina nanti. Setelah itu, kami pulang kembali untuk mempersiapkan diri untuk tinggal disana.

Kurang lebih selama 6-7 bulan kami dikarantina tibalah masa pendaftaran beasiswa, kami mendaftar beasiswa via online dengan dibantu orang-orang Turki, tidak menunggu lama hanya berselang beberapa bulan pengumuman penerimaan beasiswa pun tiba. Mungkin semua orang yang mendaftar merasakan hal yang sama ketika itu, aku terus membuka-buka email ku mengharap ada email masuk. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya email penerimaan beasiswa datang. Bercampur rasa senang, sedih, dan bangga mata ini berkaca, bibir bergetar seraya mengucapkan Alhamdulillah.. sungguh Agung dan Maha Adil Engkau Wahai Rabb pencipta alam. Ku biarkan tubuh ku berserah diri sembari bersujud sejenak tuk menikmati rasa syukur yang sangat besar atas karunia yang telah Allah berikan padaku.

Hari itu tiba. Setelah berbulan-bulan merencanakan dan bertahun-tahun memimpikan, aku akhirnya siap berangkat untuk belajar di luar negeri, melambaikan tangan dengan diiringi doa dan air mata, semua yang mengiring larut dalam air mata kebahagiaan. Iringan peluk hangat keluarga membuatku luluh tuk terus bertahan dalam desakan tangis. Kala pelukan ibu terjatuh ke tubuh ku basah sudah kedua mataku, bergetar seluruh tubuhku. Ku ucapkan selamat tinggal kepada keluargaku dilautan harapan, paspor siap di tanganku, bekal mie instan dan saus sambal kemasan disiapkan untuk beberapa bulan sudah di koper. Aku siap memulai kehidupan baru di luar negeri, dan meskipun aku sudah siap untuk hidup mandiri, namun tetap ada ketakutan dan kecemasan melanda.

Sesampainya sampai di negeri yang telah dijanjikan Rasul dalam bisyarohnya, negeri dimana sejarah-sejarah kerajaan semua generasi dan agama ada, dengan bangunan-bangunan tua yang masih menancap kokoh, seperti mimpi aku dapat menginjakkan kaki ku untuk pertama kalinya, negeri Turki.

Ku mulai kehidupan baruku di negeri yang jauh dari keluarga dan kampung halaman, sudahlah pasti ketika kita hidup di negeri orang akan ada rintangan disaat menjalaninya, dari masalah perbedaan kultur kehidupan, makanan, gaya hidup, iklim dan juga bahasa.

Hidup teratur dan selalu memotivasi diri sendiri sudah tentu menjadi hal wajib yang harus dilakukan ketika berada di luar negeri. Selain itu kita pun dituntut untuk pandai bersosial dan banyak berinteraksi dengan orang-orang disana. Berbincang, mengobrol dan banyak bicara wajib dilakukan bagi para pelajar asing baru karena jika tidak akan sulit untuk mengembangkan dan menguasai bahasa setempat.

Tahun pertamaku di negeri sultan al-fatih ini, dihabiskan untuk persiapan bahasa. Banyak sekali cerita di dalamnya ketika menjalani tahun pertamaku disana. Setelah tahun pertama berlalu dan mulai menjalani tahun keduaku, timbulah pertanyaan-pertanyaan dari dalam diriku. Ketika terbesit pertanyaan di benakmu, “Mengapa aku harus kuliah ke luar negeri?”. Maka kamu harus membuatnya jadi kenyataan untuk mengerti alasannya.

Bukan karena gelar yang kamu dapatkan dari luar negeri bisa membuktikan bahwa kamu memiliki kapasitas yang sama dengan para pemikir cerdas internasional lainnya di luar sana. Bukan pula karena gelar yang kamu raih di luar negeri menjamin tingginya pendapatanmu di kemudian hari. Tidak juga karena teman-temanmu kamu kuliah di luar negeri, sehingga kamu pun harus ikut-ikutan.

Saat kamu mengepak koper untuk meninggalkan negeri tercinta ini pertama kalinya, kamu bisa jadi merasa senang atau sedih. “Asyik, nanti bisa melihat salju,” atau “Ah, nanti nggak bisa makan nasi tiap hari!”. Mungkin kamu juga berpikir bahwa kamu sudah siap berangkat, karena kamu sudah berjuta kali memikirkannya. Namun, kenyataan, sebagian besar, selalu berbeda dengan apa yang sudah direncanakan.

Penulis: Ust. Abu Hanifah Shukron & Ust. Subhan