Konon, pada suatu hari Sunan Bonang berkata kepada Raden Syahid yang kemudian bernama Sunan Kalijaga “Misalkan, laut dijadikan tinta, dan daun-daun di seluruh jagat ini dijadikan kertasnya, masih belum cukup untuk menuliskan ilmu Allah, Ki Sanak”.Ujarnya. “Tidak sebanyak itu yang saya mau tuntut. Saya cuma perlu satu titik. Di titik Ba itu, Kanjeng”. Balas Raden Syahid dengan tenang.
Penggalan percakapan Sunan Bonang dan Raden Syahid di atas bila kita renungi dengan khusyuk, akan menyadarkan kita bahwa ilmu yang diberikan Allah kepada manusia sangat terbatas. Sehebat apa pun dan secanggih apa pun alat-alat yang diciptakan manusia niscaya belum mencapai ketinggian ilmu Allah, seperti yang difirmankan-NYA “Tidaklah aku berikan ilmu kepada kalian kecuali hanya sedikit” (QS. Al-Israa: 85).
Sedikit mengulas tentang tradisi menulis dalam Islam, dalam sejarah tercatat bahwa kejayaan Islam pernah teraih melalui budaya baca-tulis. Bahkan Muhammad, nabi akhir zaman, mendapatkan wahyu pertama yang berbias perintah untuk membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bi al-qalam).
Membaca dan menulis adalah media untuk mengantarkan manusia menuju perbaikan. Maka, tidak berlebihan jika Qotâdah, seorang ulama salaf menyatakan:“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah…” (Tafsîr al-Qurthûbî, 2002).
Jika semangat mengajak membaca dan menulis sudah ada sejak awal datangnya Islam, dan mempunyai posisi yang sangat prinsipil dalam perkembangan Islam, maka, kebudayaan baca-tulis di lingkungan kita –yang notebene lembaga pendidikan Islam– seyogyanya bisa dijadikan tradisi oleh seluruh elemen di lembaga ini. Yuk, menulis! Mari kita lahirkan santri-santri dan guru-guru yang produktif menulis. Amin.